Materi Blog 5
Penyusunan Rubrik Penilaian Afektif dan Psikomotor
PENILAIAN PSIKOMOTORIK
A. Hakikat Pembelajaran Afektif
Hasil
belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan
hasil afektif. Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik
manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan.
Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan
dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif.
Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi,
atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil
belajar dalam bidang pendidikan.
Menurut
Popham (1995), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang
yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan
belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran
diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua
pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan
untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat
nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang
program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan
pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi
afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap
positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran
tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun
para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan
pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena
itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program
pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus
memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.
B.
Tingkatan Ranah Afektif
Menurut
Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai
komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen
sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif
menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding,
valuing, organization, dan characterization.
1.
Tingkat receiving
Pada
tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan
memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan,
musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik
pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik
mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan
sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan,
yaitu kebiasaan yang positif.
2.
Tingkat responding
Responding
merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari
perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan
pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam
memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu
hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas
khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman,
senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3.
Tingkat valuing
Valuing
melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat
internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu
nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat
komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat
nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku
yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan
pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
4.
Tingkat organization
Pada
tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar
nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau
organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.
5.
Tingkat characterization
Tingkat
ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta
didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu
tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini
berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.
C.
Karakteristik Ranah Afektif
Pemikiran
atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah
afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi
seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang
termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas
menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat
dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang
kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah
perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang
menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran
dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah
perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu
skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai
arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang
ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi
terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini
bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh
seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa
cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar
bahwa target kecemasannya adalah tes.
Ada 5
(lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral.
1.
Sikap
Sikap
merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan
sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi
verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang
ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap
adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap
mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut
Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep,
atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah
atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk
ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran,
misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan
ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran
termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2.
Minat
Menurut
Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan
menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
Penilaian
minat dapat digunakan untuk:
- mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
- mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
- pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
- menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
- mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
- acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
- mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
- bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
- meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3.
Konsep Diri
Menurut
Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan
dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada
dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang
tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau
negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu
mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep
diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir
yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi
sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian
konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian
diri adalah sebagai berikut.
- Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
- Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
- Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
- Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
- Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
- Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
- Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
- Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
- Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
- Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
- Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
- Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
- Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
- Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
- Peserta didik mampu menilai dirinya.
- Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
- Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
4.
Nilai
Nilai
menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan,
atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya
dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar
objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target
nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti
sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya
intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan
nilai yang diacu.
Definisi
lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu
objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan
minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar
menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur
penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus
membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan
signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi
konstribusi positif terhadap masyarakat.
5.
Moral
Piaget
dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg
mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia
hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal
terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya
seseorang bertindak. Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri
sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang
lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan
agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala.
Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
Ranah afektif lain yang penting adalah:
Ranah afektif lain yang penting adalah:
- Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain.
- Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
- Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
- Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.
CONTOH LEMBAR
PENGAMATAN PENILAIAN SIKAP DAN PENILAIAN OBSERVASI
Rubrik:
Indikator
sikap aktif dalam pembelajaran:
1.
Kurang baik jika menunjukkan sama sekali tidak ambil bagian dalam pembelajaran
2.
Cukup jika menunjukkan ada sedikit usaha ambil bagian dalam pembelajaran tetapi
belum ajeg/konsisten
3. Baik
jika menunjukkan sudah ada usaha ambil bagian dalam pembelajaran tetapi belum
ajeg/konsisten
4.
Sangat baik jika menunjukkan sudah ambil bagian dalam menyelesaikan tugas
kelompok secara terus menerus dan ajeg/konsisten
Indikator
sikap bekerjasama dalam kegiatan kelompok.
1.
Kurang baik jika sama sekali tidak berusaha untuk bekerjasama dalam kegiatan
kelompok.
2.
Cukup jika menunjukkan ada sedikit usaha untuk bekerjasama dalam kegiatan
kelompok tetapi masih belum ajeg/konsisten.
3. Baik
jika menunjukkan sudah ada usaha untuk bekerjasama dalam kegiatan kelompok
tetapi masih belum ajeg/konsisten.
4.
Sangat baik jika menunjukkan adanya usaha bekerjasama dalam kegiatan kelompok
secara terus menerus dan ajeg/konsisten.
Indikator
sikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif.
1.
Kurang baik jika sama sekali tidak bersikap toleran terhadap proses pemecahan
masalah yang berbeda dan kreatif.
2.
Cukup jika menunjukkan ada sedikit usaha untuk bersikap toleran terhadap proses
pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif tetapi masuih belum ajeg/konsisten
3. Baik
jika menunjukkan sudah ada usaha untuk bersikap toleran terhadap proses pemecahan
masalah yang berbeda dan kreatif tetapi masuih belum ajeg/konsisten.
4.
Sangat baik jika menunjukkan sudah ada usaha untuk bersikap toleran terhadap
proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif secara terus menerus dan
ajeg/konsisten.
PENILAIAN PSIKOMOTORIK
A. Pengertian Psikomotorik
Hasil
belajar peserta didik dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain
secara eksplisit. Apapun mata pelajarannya selalu mengandung tiga ranah itu,
namun penekanannya berbeda. Mata pelajaran yang menuntut kemampuan praktik
lebih menitik beratkan pada ranah psikomotor sedangkan mata pelajaran yang
menuntut kemampuan teori lebih menitik beratkan pada ranah kognitif, dan
keduanya selalu mengandung ranah afektif.
Ranah
kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan
menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi,
dan nilai. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas
fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya.
Berkaitan
dengan psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan
dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang
melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972) menambahkan bahwa mata
pelajaran yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi
pada gerakan dan menekankan pada reaksi–reaksi fisik dan keterampilan tangan.
Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu
tugas atau sekumpulan tugas tertentu.
Menurut
Mardapi (2003), keterampilan psikomotor ada enam tahap, yaitu: gerakan refleks,
gerakan dasar, kemampuan perseptual, gerakan fisik, gerakan terampil, dan
komunikasi nondiskursif. Gerakan refleks adalah respons motorik atau gerak
tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir. Gerakan dasar adalah gerakan yang
mengarah pada keterampilan komplek yang khusus. Kemampuan perseptual adalah
kombinasi kemampuan kognitif dan motorik atau gerak. Kemampuan fisik adalah
kemampuan untuk mengembangkan gerakan terampil. Gerakan terampil adalah gerakan
yang memerlukan belajar, seperti keterampilan dalam olah raga. Komunikasi
nondiskursif adalah kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan.
Buttler
(1972) membagi hasil belajar psikomotor menjadi tiga, yaitu: specific
responding, motor chaining, dan rule using. Pada tingkat specific responding
peserta didik mampu merespons hal-hal yang sifatnya fisik, (yang dapat
didengar, dilihat, atau diraba), atau
melakukan keterampilan yang sifatnya tunggal, misalnya memegang raket, memegang
bed untuk tenis meja. Pada motor chaining peserta didik sudah mampu
menggabungkan lebih dari dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan
gabungan, misalnya memukul bola, menggergaji, menggunakan jangka sorong, dll.
Pada tingkat rule using peserta didik sudah dapat menggunakan pengalamannya
untuk melakukan keterampilan yang kompleks, misalnya bagaimana memukul bola
secara tepat agar dengan tenaga yang sama hasilnya lebih baik.
Dave
(1967) dalam penjelasannya mengatakan bahwa hasil belajar psikomotor dapat
dibedakan menjadi lima tahap, yaitu: imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi,
dan naturalisasi. Imitasi adalah kemampuan melakukan kegiatan kegiatan
sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya.
Contohnya, seorang peserta didik dapat memukul bola dengan tepat karena pernah
melihat atau memperhatikan hal yang sama sebelumnya. Manipulasi adalah
kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat tetapi
berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja. Sebagai contoh, seorang peserta
didik dapat memukul bola dengan tepat hanya berdasarkan pada petunjuk guru atau
teori yang dibacanya. Kemampuan tingkat presisi adalah kemampuan melakukan
kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang
tepat. Contoh, peserta didik dapat mengarahkan bola yang dipukulnya sesuai
dengan target yang diinginkan. Kemampuan pada tingkat artikulasi adalah
kemampuan melakukan kegiatan yang komplek dan tepat sehingga hasil kerjanya
merupakan sesuatu yang utuh. Sebagai contoh, peserta didik dapat mengejar bola kemudian
memukulnya dengan cermat sehingga arah bola sesuai dengan target yang
diinginkan. Dalam hal ini, peserta didik sudah dapat melakukan tiga kegiatan
yang tepat, yaitu lari dengan arah dan kecepatan tepat serta memukul bola
dengan arah yang tepat pula. Kemampuan pada tingkat naturalisasi adalah
kemampuan melakukan kegiatan secara reflek, yakni kegiatan yang melibatkan
fisik saja sehingga efektivitas kerja tinggi. Sebagai contoh tanpa berpikir
panjang peserta didik dapat mengejar bola kemudian memukulnya dengan cermat
sehingga arah bola sesuai dengan target yang diinginkan.
Untuk
jenjang Pendidikan SMA, mata pelajaran yang banyak berhubungan dengan ranah
psikomotor adalah pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, seni budaya,
fisika, kimia, biologi, dan keterampilan. Dengan kata lain, kegiatan belajar
yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah praktik di aula/lapangan
dan praktikum di laboratorium. Dalam kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada
ranah kognitif dan afektifnya, namun hanya sedikit bila dibandingkan dengan
ranah psikomotor.
B.
Pembelajaran Psikomotor
Menurut
Ebel (1972), ada kaitan erat antara tujuan yang akan dicapai, metode
pembelajaran, dan evaluasi yang akan dilaksanakan. Oleh karena ada perbedaan
titik berat tujuan pembelajaran psikomotor dan kognitif maka strategi
pembelajarannya juga berbeda. Menurut Mills (1977), pembelajaran keterampilan
akan efektif bila dilakukan dengan menggunakan prinsip belajar sambil
mengerjakan (learning by doing). Leighbody (1968) menjelaskan bahwa
keterampilan yang dilatih melalui praktik secara berulang-ulang akan menjadi
kebiasaan atau otomatis dilakukan. Sementara itu Goetz (1981) dalam
penelitiannya melaporkan bahwa latihan yang dilakukan berulang-ulang akan
memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemahiran keterampilan. Lebih lanjut
dalam penelitian itu dilaporkan bahwa pengulangan saja tidak cukup menghasilkan
prestasi belajar yang tinggi, namun diperlukan umpan balik yang relevan yang
berfungsi untuk memantapkan kebiasaan. Sekali berkembang maka kebiasaan itu
tidak pernah mati atau hilang.
Sementara
itu, Gagne (1977) berpendapat bahwa kondisi yang dapat mengoptimalkan hasil
belajar keterampilan ada dua macam, yaitu kondisi internal dan eksternal. Untuk
kondisi internal dapat dilakukan dengan cara: (a) mengingatkan kembali bagian
dari keterampilan yang sudah dipelajari, dan (b) mengingatkan prosedur atau
langkah-langkah gerakan yang telah dikuasai. Sementara itu untuk kondisi
eksternal dapat dilakukan dengan: (a)
instruksi verbal, (b) gambar, (c) demonstrasi, (d) praktik, dan (e) umpan
balik.
Dalam
melatihkan kemampuan psikomotor atau keterampilan gerak ada beberapa langkah
yang harus dilakukan agar pembelajaran mampu membuahkan hasil yang optimal.
Mills (1977) menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam mengajar praktik adalah:
(a) menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan, (b) menganalisis keterampilan
secara rinci dan berutan, (c) mendemonstrasikan keterampilan disertai dengan
penjelasan singkat dengan memberikan perhatian pada butir-butir kunci termasuk
kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dan
bagian-bagian yang sukar, (d) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mencoba melakukan praktik dengan pengawasan dan bimbingan, (e) memberikan
penilaian terhadap usaha peserta didik.
Edwardes
(1981) menjelaskan bahwa proses pembelajaran praktik mencakup tiga tahap,
yaitu: (a) penyajian dari pendidik, (b) kegiatan praktik peserta didik, dan (c)
penilaian hasil kerja peserta didik. Guru harus menjelaskan kepada peserta didik
kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kompetensi
kunci adalah kemampuan utama yang harus dimiliki seseorang agar tugas atau
pekerjaan dapat diselesaikan dengan cara benar dan hasilnya optimal. Sebagai
contoh, dalam memukul bola, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik
menempatkan bola pada titik ayun. Dengan cara ini, tenaga yang dikeluarkan
hanya sedikit namun hasilnya optimal. Contoh lain, dalam mengendorkan mur dari
bautnya, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik memegang kunci pas
secara tepat yakni di ujung kunci. Dengan cara ini tenaga yang dikeluarkan
untuk mengendorkan mur jauh lebih sedikit biladibandingkan dengan pengendoran
mur dengan cara memegang kunci pas yang tidak tepat.
Dalam
proses pembelajaran keterampilan, keselamatan kerja tidak boleh dikesampingkan,
baik bagi peserta didik, bahan, maupun alat. Leighbody (1968) menjelaskan bahwa
keselamatan kerja tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran psikomotor.
Guru harus menjelaskan keselamatan kerja kepada peserta didik dengan
sejelas-jelasnya. Oleh karena kompetensi kunci dan keselamatan kerja merupakan
dua hal penting dalam pembelajaran keterampilan, maka dalam penilaian kedua hal
itu harus mendapatkan porsi yang tinggi.
C.
Penilaian Hasil Belajar Psikomotor
Ada
beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor. Ryan
(1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui: (1)
pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses
pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu
dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan
kelak dalam lingkungan kerjanya. Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat
bahwa penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan menggunakan
alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun
urut-urutan pengerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan membaca
gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau
ukuran yang telah ditentukan.
Dari
penjelasan di atas dapat dirangkum bahwa dalam penilaian hasil belajar
psikomotor atau keterampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk.
Penilaian dapat dilakukan pada saat proses berlangsung yaitu pada waktu peserta
didik melakukan praktik, atau sesudah proses berlangsung dengan cara mengetes
peserta didik.
Nilai : Skor yang diperoleh/10 x 100
Pertanyaan :
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat beberapa contoh rubrik penilaian afektif dan psikomotorik dalam pembelajaran kimia. Namun yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana tindakan yang harus kita laksanakan pada kedua aspek penilaian tersebut agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian.
kemudian, bagaimana hubungan kedua aspek penilaian ini dengan penilaian kognitif ?
bagaimana hubungan kedua aspek penilaian ini dengan penilaian kognitif ?
BalasHapusMenurut saya sangat berhubungan antara aspek kognitif dengan aspek afektif dan psikomotor. pada Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. sedangkan pada Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Hasi belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektif dengan materi kedisiplinan menurut agama Islam sebagaimana telah dikemukakan pada pembiraan terdahulu, maka wujud nyata dari hasil psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif afektif itu adalah;
1) peserta didik bertanya kepada guru pendidikan agama Islam tentang contoh-contoh kedisiplinan yang telah ditunjukkan oleh Rosulullah SAW, para sahabat, para ulama dan lain-lain;
2) peseta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan
3) peserta didik dapat memberikan penejelasan kepada teman-teman sekelasnya di sekolah, atau kepada adik-adiknya di rumah atau kepada anggota masyarakat lainnya, tentang kedisiplinan diterapkan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat;
4) peserta didik menganjurkan kepada teman-teman sekolah atau adik-adiknya, agar berlaku disiplin baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat
5) peserta didik dapat memberikan contoh-contoh kedisiplinan di sekolah, seperti datang ke sekolah sebelum pelajaran di mulai, tertib dalam mengenakan seragam sekolah, tertib dan tenag dalam mengikuti pelajaran, di siplin dalam mengikuti tata tertib yang telah ditentukan oleh sekolah, dan lain-lain
6) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di rumah, seperti disiplin dalam belajar, disiplin dalam mennjalannkan ibadah shalat, ibadah puasa, di siplin dalam menjaga kebersihan rumah, pekarangan, saluran air, dan lain-lain
7) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti menaati rambu-rambu lalu lintas, tidak kebut-kebutan, dengan suka rela mau antri waktu membeli karcis, dan lain-lain.
8) peserta didik mengamalkan dengan konsekuen kedisiplinan dalam belajar, kedisiplinan dalam beribadah, kedisiplinan dalam menaati peraturan lalu lintas, dan sebagainya.
Sayaa sependapat dengan rini. Jika di tanya bagaimana hubungan afektif dan psikomotor dengan kognitif ini. Tentu sangat berhubungan.
HapusSelain mempeehatikan kognitif skill siswa tentu ada hal yang menunjang atau mendukung kognitif siswa tdi. Yaitu sikap siswa. Dan keterampilan siswa dlaam belajar. Jadi dalam penilaian itu 3 aspek itu harus di perhatikan. Karena jika 1 aspek tudak di perhatikan maka penilaian belum selsai atau tidak efektif
saya sependapata dengan teman-teman bahaw antara afektif dan psikomotor tentu memiliki hubungan dengan kognitif dimana ketiga aspek ini merupakan kemampuan dasar siswa. dapat menambahakan jika kognitif siswa baik tentu akan menunjang dan ditunjang dari aspek psikomotor dan afektif pula
Hapusbagaimana tindakan yang harus kita laksanakan pada kedua aspek penilaian tersebut agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian.
BalasHapusmenurut saya Guru dapat mengatasi hambatan tersebut dengan segera merekap nilai siswa agar tidak menumpuk dan menyelesaikan penilaian setelah proses pembelajaran berakhir.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat beberapa contoh rubrik penilaian afektif dan psikomotorik dalam pembelajaran kimia. Namun yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana tindakan yang harus kita laksanakan pada kedua aspek penilaian tersebut agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian.
BalasHapus.
Menurut saya, agar data yang dinilai benar-benar valid dan original yaitu dengan melakukan penilaian dengan berbagai teknik. Misal untuk menilai sikap afektif sebaiknya kita gunakan berbagai instrumen penilaian tidak hanya dari satu saja misal menggunakan LO dari guru tapi sebaiknya menggunkan LO Penilaian diri, dan LO penilaian antar teman serta Jurnal Penilaian agar kita bisa melihat apakah terjadi keserasian antara keempat instrumen penilaian tsb. Dari situ kita bisa melihat keoriginal dan valid nya suatu penilaian karena bisa dibandingkan penialain antar instrumen itu. Misal Psikomotorik maka selain dari LO maka bisa menggunakan Soal Post Test dan Pre Test lalu menggunakan instrumen portofolio agar kita dapat membandingkan penilaian antar instrumen tsb.
kemudian, bagaimana hubungan kedua aspek penilaian ini dengan penilaian kognitif ?
.
Saya setuju dengan Rini, dimana kedua ini sangat erat hubungannya dengan aspek kognitif. Dalam menilai aspek kognitif seseorang tentu bisa mengukur dengan jelas menggunakan soal untuk menilai siswa dari segi pengetahuannya, dan penilaian kognitif ini bisa dibuktikan apakah siswa benar-benar memahami suatu pelajaran atau tidak melalui aspek psikomotorik dan afektif. Melalui afektif dari tingkah laku nya apakah mengalami perubahan dari yang tidak memahami jadi memahami. Kemudian psikomotor apakah tingkah lakunya mencerminkan indikator yang hendak dicapai. Jelas ketiga nya berhubungan dan berkaitan.
agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian maka instrumen tersebut harus divalidasi kemudian data tidak boleh dimanipulasi dan jangan menggunakan perasaan, gunakan logika saat mengisinya
BalasHapusbagaimana tindakan yang harus kita laksanakan pada kedua aspek penilaian tersebut agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian?
HapusSaya sepndapat dimna agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian maka instrumen tersebut harus divalidasi kemudian data tidak boleh dimanipulasi dan jangan menggunakan perasaan, gunakan logika saat mengisinya.
menurut saya agar penilaian tsb didapat valid dan origin maka instrumen penilaian terlebih dahulu harus di validasi oleh ahli instrumen sehingga layak digunakan. dan saat penggunaannya di kelas guru harus menilainya dengan cara yamg objektif. melakukan penilaian di kelas sampai proses pembelajaran berakhir. kalaupun tidak bisa, maka guru bisa menyiapkan alat untuk memvideokan proses pembelajaran tsb
BalasHapusbagaimana tindakan yang harus kita laksanakan pada kedua aspek penilaian tersebut agar data penilaian yang kita peroleh benar-benar valid dan merupakan originalitas dari suatu proses penilaian?
BalasHapussaya stuju dengan pendapat tri dan rina perlu adanya validasi intrumennya dlu, jelas sudah validnya instrumen tergantung lagi pengisiian instrumen, pengisian yang original untuk hasil yang origjnal adalah penilaian yg dilakukan saat itu juga, dari apa yang terlihat tanpa melibatkan emosi dan perasaan, atau secara objektif
saya akan mencoba menjawab pertanyaan kak nelly, yakni bagaimana hubungan kedua aspek penilaian ini dengan penilaian kognitif ?
BalasHapussebenarnya aspek kognitif, afektif dan psikomotor itu saling menguatkan satu sama lain, artinya, kita tidak bisa berpatokan kpada salah satu saja tetapi ketiga-tiganya. kenapa afektif dan psikomotor lebih dsering disandingkan menurt syaa itu karena keduanya hanya dapat dinilai pada saat proses pembelajaran berlangsung dan kedua aspek ini biasanya cenderung muncul berbarengan.
penilaian kognitif lebih menekan\nkan pada persepsi siswa dalam memahami materi sedangkan afektif dan psikomotor lebih kepada skill siswa baik life skill maupun secara metal.
Kognitif, Afektif dan Psikomotorik
BalasHapusAndersen (1981) berpendapat bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
Dengan demikian, kemampuan yang dimiliki setiap orang itu berbeda. Dalam perbedaan itu, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap orang memiliki kelebihan pada bidang yang menjadi kemampuannya dan memiliki kekurangan pada kemampuan yang dimiliki orang lain sebagai bidangnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua manusia memiliki kemampuan, hanya saja bagaimana setiap orang mengenal kemampuan yang dimilikinya serta bagaimana mengembangkan kemapuannya itu.
Pendidikan sebagai sebuah proses belajar memang tidak cukup dengan sekedar mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak didik atau subyek belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal.