Artikel Pendidikan - Konvoi & Coret
BUDAYA SELEBRASI
KONVOI DAN CORET SEBAGAI
CERMINAN
KEGAGALAN PENDIDIKAN KARAKTER
Kelulusan merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu oleh para pelajar
khususnya ditingkat sekolah menengah atas seperti SMA, SMK dan MA. Berbagai
rangkaian uji kompetensi seperti ujian semester, ujian praktek, ujian sekolah
dan diakhiri dengan ujian nasional merupakan satu rentetan peristiwa yang
bermuara pada pengumuman kelulusan.
Kelulusan disambut dengan gembira. Perayaan kelulusan sekolah tidak
afdhol jika tidak dirayakan dengan konvoi dan corat-coret seragam sekolah dengan
menggunakan berbagai jenis tinta dan pewarna seperti spidol dan cat pilox.
Fenomena ini tampaknya sudah menjadi bagian tradisi tahunan bagi para pelajar untuk
meluapkan segala kegembiraan dan selebrasi mereka. Entah apa tujuannya, namun
aksi ini kerap terjadi di berbagai daerah pada masa-masa setelah ujian nasional
dan atau saat pengumuman kelulusan.
Berbeda dengan tahun ini, di tengah bencana nasional merebaknya wabah
virus corona yang memaksa kita untuk selalu waspada dan mengurangi aktivitas di
luar rumah, pemerintah telah mengambil suatu kebijakan dalam sektor pendidkan dengan
meniadakan ujian nasional berbasis computer (UNBK). Tak sekedar itu, bahkan
pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan pembelajaran di rumah
“study at home” kepada pendidik dan peserta didik selama masa penanggulangan
wabah virus corona.
Betapa seriusnya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita, terkait
upaya pemutusan rantai penyebaran virus corona perintah juga meniadakan ujian
kenaikan kelas untuk tahun ajaran ini. Hal ini merupakan implikasi dari
kebijakan “stay at home” atau tetap berada di rumah dan “social distancing”
yaitu menjaga jarak interaksi sosial. Bahkan proses penerimaan peserta didik
baru (PPDB) nanti pun tidak dilaksanakan secara langsung, tetapi secara online.
Namun ayalnya, kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan sebagai upaya
pencegahan menyebarnya wabah virus corona, tak diindahkan oleh sebagian siswa sekolah
menengah atas dari beberapa daerah. Betapa tidak, mereka (oknum siswa) begitu euforia
melakukan aksi konvoi dan coret-coret seragam sekolah. Mereka berkumpul di satu
titik lokasi dan begitu kompaknya seolah-olah ingin mengadakan selebrasi dan performance. Entah bagaimana cara mereka
berkoordinasi satu sama lain sedangkan mereka berasal dari sekolah yang
berbeda-beda. Mungkin inilah salah satu fungsi utama android mereka selain sebagai
penunjang pembelajaran.
Tradisi corat-coret seragam yang hampir dilakukan di semua daerah di
negeri ini dan seolah menjadi budaya populer yang memiliki makna
tersendiri dikalangan siswa. Pada
dasarnya aksi corat-coret seragam bukan hanya sebatas persoalan terhadap
seragam yang tidak akan digunakan lagi, namun lebih sebagai cerminan karakter
generasi muda kita. Menurut Muhammad Mustaqim salah seorang dosen dan pengamat
sosial, ada tiga karakter yang dapat kita baca dari budaya corat-coret ini.
Pertama, sikap cepat merasa puas. Selebrasi terhadap kelulusan merupakan
hal yang wajar. Namun bila itu harus dilakukan dengan beberapa aksi dan
kegiatan yang tidak manfaat, tampaknya lebih sebagai sesuatu yang berlebihan.
Euforia corat-coret dalam hal ini merupakan cerminan perasaan terlalu puas atas
prestasi dalam menyelesaikan jenjang pendidikan menengah. Jika hal ini
dilakukan 30 tahun yang lalu, mungkin agak releven, mengingat pada masa itu SMA
merupakan salah satu jenjang pendidikan yang "cukup" tinggi.
Namun dalam konteks kekinian, jenjang SMA bukan lagi merupakan jenjang
yang “cukup” tinggi. Jenjang SMA merupakan jenjang yang relatif rendah dan dianggap
biasa, karena saat ini sudah banyak orang yang melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi seperti Perguruan Tinggi dan Lembaga sejenisnya.
Sehingga aksi corat-coret seragam dalam hal ini dianggap sebagai gejala terlalu
berpuas diri dalam pendidikan. Hal ini bukanlah suatu sikap yang baik dalam
kaitannya dengan proses pembelajaran atau pencarian ilmu. Oleh agama, kita
diajarkan untuk mencari ilmu min al-mahdi ila al-lahdi, dari ayunan sampai
liang lahat. Dan UNESCO pun mencanangkan program “long life education",
belajar seumur hidup. Lantas, mengapa generasi kita yang baru lulus SMA saja
sudah terlalu puas dan gembira seperti itu?
Kedua, adanya karakter show of
force. Budaya corat-coret sudah tentu melibatkan proses pengerahan massa
yang banyak. Tak jarang aksi konvoi ini menimbukan tawuran antar pelajar. Hal
ini terjadi karena adanya upaya show of
force atau unjuk kekuatan antara kelompok pelajar yang satu dengan yang
lainnya. Dan tradisi unjuk kekuatan ini jika dibudidayakan akan melahirkan
tradisi anarkisme kolektif antar kelompok. Sehingga tipologi show of force dalam aksi konvoi akan
menjadi preseden buruk terhadap mengembangan mental dan karakteristik generasi
muda kita.
Ketiga, adanya kecenderungan bad celebration. Selebrasi atas kesuksesan
boleh-boleh saja dirayakan. Namun perayaan dengan aksi corat-coret rasanya
bukanlah perayaan yang baik. Sebaliknya, hal ini merupakan bagian dari perayaan
yang berlebih-lebihan dan jauh dari prinsip kebermanfaatan. Jika generasi muda
kita sudah mulai mentradisikan perayaan buruk ini, maka tentunya akan berakibat
buruk bagi kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Sehingga, aksi
carat-coret ini akan melestarikan sebuah tradisi buruk yang akan selalu diikuti
oleh generasi-generasi berikutnya.
Kejadian konvoi dan coret-coret yang baru-baru ini terjadi di daerah Kerinci
dan Sungai Penuh merupakan sebuah tamparan keras bagi para parktisi pendidikan
Kerinci dan Sungai Penuh dibawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Sungguh
kejadian yang sangat memalukan dan dapat diartikan sebagai sebuah kegagalan
pendidikan karakter. Namun tak heran, setelah dilakukan pendataan baik oleh aparat
keamanan maupun pihak sekolah, sebagian besar siswa yang terlibat pada kegiatan
konvoi dan coret-coret tersebut merupakan siswa yang sering bermasalah di
sekolah. Apakah ini artinya para pendidik tidak mampu menanamkan pendidikan
karakter kepada peserta didik?
Masalahnya tidak sesederhana itu, karena untuk mencapai suatu
keberhasilan dalam pendidikan yang diindikasikan dengan lahirnya generasi muda
yang kreatif, disiplin dan bertaqwa tak cukup hanya dengan mengandalkan peran
guru di sekolah. Peran orang tua sangat dibutuhkan, begitu juga dengan peran aktif
dari siswa itu sendiri. Apabila guru telah melaksanakan tugas dan kewajibannya
secara maksimal, namun tidak didukung dengan perhatian dan pengawasan yang baik
oleh pihak orang tua dan keluarga terhadap siswa, maka jangan bermimpi akan
lahir generasi muda yang kreatif, disiplin dan bertaqwa. Dan untuk mewujudkan
itu semua perlu adanya kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan siswa.
Komentar
Posting Komentar