Generasi
Covid-19 (pembelajaran usai sebelum selesai)
Desember lalu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan membuat gebrakan
dengan menelurkan empat kebijakan baru yang disebut dengan Merdeka Belajar. Empat
pokok kebijakan yang dirancang baik untuk pendidik maupun peserta didik adalah
penghapusan USBN yang diberlakukan mulai tahun ini, penghapusan ujian nasional (SMP/SMA)
yang akan diberlakukan mulai tahun depan, penyederhanaan RPP, dan pemberlakuan
zonasi untuk penerimaan peserta didik baru. Kebijakan ini diberi nama Merdeka
Belajar. Diharapkan, melalui gebrakan Merdeka Belajar, pendidik dan peserta
didik tidak lagi terkukung oleh batasan-batasan administratif yang dapat
mengganggu fokus pembelajaran itu sendiri.
Sejak tahun 2015 Ujian Nasional bukan lagi sebagai
penentu kelulusan. Kebijakan ini dikeluarkan dengan beberapa pertimbangan,
seperti: Ujian Nasional yang terbukti tidak efektif sebagai alat penentu
kelulusan, siswa merasa terbebani dengan adanya Ujian Nasional, proses belajar
mengajar di kelas menjadi terlalu berfokus pada persiapan Ujian Nasional
sehingga guru pun memusatkan perhatiannya untuk mengajarkan materi-materi yang
akan diujikan pada Ujian Nasional. Kebijakan ini disambut dengan gembira oleh
sebagian besar pelajar di seluruh Indonesia. Bukan karena tidak ingin
menuntaskan indikator soal-soal Ujian Nasional, tetapi lebih pada rasa keadilan
akan kondisi pendidikan di seluruh negeri tercinta ini.
Pada dasarnya Ujian Nasional bukan lah satu-satunya
penentu keberhasilan siswa dalam bidang akademik. Mengapa demikian? Karena proses
pembelajaran sehari-hari jauh lebih berperan dalam menentukan keberhasilan
siswa. Kemampuan dan progres belajar siswa sehari-hari merupakan tabungan ilmu
yang teknisnya diuji secara berkala sehingga menghasilkan sebuah lembar
penilaian hasil belajar atau yang lebih kita kenal dengan sebutan “rapor”. Kita
mengenal ada istilah ulangan harian, quiz dan uji kompetensi. Itu semua adalah
teknis yang dilakukan dalam proses penilaian pengetahuan yang dilakukan secara
berkala. Terlepas dari itu semua, penilaian keterampilan serta sikap juga
merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Meski bukan lagi sebagai penentu kelulusan, Ujian Nasional
tetap diselenggarakan hingga saat ini. Namun, mulai tahun 2021 Ujian Nasional
akan diganti formatnya menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang memuat
aspek literasi dan numerasi serta survey karakter. Hal ini disampaikan oleh
menteri pendidikan Nadim Makarim pada pertengahan Desember tahun 2019 lalu.
Dulu, penghapusan ujian nasional merupakan salah
satu impian bagi semua pelajar di Indonesia. Betapa tidak, Ujian Nasional
dianggap sebagai momok yang menakutkan terutama bagi pelajar-pelajar yang
berada di daerah atau di desa. Dimana pelaksanaan pembelajaran seringkali
terkendala karena terbatasnya sarana dan prasarana. Sehingga naif rasanya untuk
menyamakan pencapaian materi belajar siswa di kota dengan siswa di desa.
Namun siapa sangka, tahun 2020 telah mengukir
sejarah dalam dunia pendidikan di negeri ini. Pandemi Covid-19 telah merubah
segala aturan dan kebijakan. Impian akan ditiadakannya Ujian Nasional terwujud
dengan tiba-tiba. Tidak ada pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini karena sebelum
Ujian Nasional tingkat SMA dan MA dilaksanakan, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan dalam beberapa bidang khususnya bidang pendidikan terkait pandemi
covid-19. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan
Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus (COVID-19). Disebutkan
bahwa kesehatan lahir batin siswa, guru, kepala sekolah dan seluruh warga
sekolah menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan ini.
Dari enam poin yang disampaikan dalam Surat Edaran
Mendikbud tersebut ada dua poin yang berkaitan dengan masalah kelulusan siswa, yaitu
poin pertama dan poin ketiga. Secara singkatnya poin pertama menjelaskan bahwa Ujian
Nasional (UN) tahun 2020 untuk jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA dan
sederajat ditiadakan. Keikutsertaan UN tidak menjadi syarat kelulusan atau
seleksi untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Poin ketiga menjelaskan bahwa
Ujian Sekolah (US) untuk kelulusan dalam bentuk tes dilaksanakan dengan
ketentuan tidak boleh mengumpulkan siswa, kecuali telah dilaksanakan sebelum
Surat Edaran ini ditetapkan. Ujian Sekolah dapat dilakukan dalam bentuk
portofolio nilai raport dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, tes
daring dan/atau asesmen jarak jauh lainnya. Ujian Sekolah dirancang untuk
mendorong aktifitas belajar yang bermakna, dan tidak perlu mengukur ketuntasan
capaian kurikulum secara menyeluruh. Sekolah yang telah melaksanakan US dapat
menggunakan nilainya untuk menentukan kelulusan siswa sesuai ketentuan yang
diatur.
Terkait dengan kebijakan pemerintah lainnya pada situasi
pandemi covid-19 ini, yaitu diberlakukannya social distancing dan physical
distancing yang seolah-olah membuat proses pembelajaran usai begitu saja. Hal ini
amat dirasakan oleh siswa yang duduk di kelas akhir seperti kelas 9 dan kelas
12. Betapa tidak, euforia kelulusan kini hanya menjadi sesuatu yang semu,
begitupun tradisi acara perpisahan yang tidak dapat mereka nikmati meriah, haru
dan indahnya. Ya, pendidikan mereka usai sebelum waktunya, masa-masa akhir
pendidikan mereka telah hilang begitu saja. Lantas, apakah mereka patut disebut
sebagai generasi covid-19? Sebutan yang akhir-akhir ini sering muncul dengan
tiba-tiba bagaikan sebuah meme. Entahlah, apapun itu yang pasti mereka telah
selesai menempuh pendidikan dan akan dinyatakan lulus sesuai aturan dan kriteria
yang ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan berdasarkan Surat Edaran
Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020.
Mungkin peristiwa ini bisa kita jadikan sebagai media untuk refleksi tentang apa dan bagaimana esensial dari sebuah pendidikan. Betapa bertatap muka secara langsung akan membangun "chamistry" yang indah yang mampu melahirkan empati pada setiap orang. Semoga pandemi ini segera berlalu dan pendidikan dapat terlaksana dengan nyata.
Komentar
Posting Komentar